Kamis, 24 Mei 2012

Penghapus Happy Sunday


 Tak ada yang berbeda dengan Kamis-Kamis sebelumnya. Seperti biasa pelajaranBahasa Indonesia tetap ada dan Insya Allah akan terus ada pada hari ini.
Di cuaca yang cukup cerah ini, hembusan angin yang menampar lembut di pipi membuat kesujukan yang amat sangat. Karena kesejukan yang amat sangat, membuatku sedikit ternguap-nguap. Maklum saja, disamping kelasku terdapat pohon-pohon yang rindang dan terjaga kerawatannya.

Saat matahari sedang naik ke tahtanya, Bu Indrawati, seorang guru bidang studi Bahasa Indonesia masuk ke kelasku. Kelas IX-9 namanya. Saat beliau masuk, aku sebagai ketua kelas pun menyiapkan anggota-anggotaku. Selain itu, aku juga berkewajiban memberikan aba-aba untuk memberi salam. ”Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh” inilah salam yang lazim digunakan di SMP yang berada di Kota Syariat Islam ini.
Pelajaran pun dimulai. Hari ini kami membahas Kompetensi Dasar (KD) Membuat Cerita Pendek (Cerpen). Beliau pun menjelaskan panjang-pendek pembahasan yang membahas tentang kompetensi dasar tersebut. Saat beliau menjelaskan, tampak beberapa siswa termasuk aku mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
Tak terasa beliau telah menjelaskan panjang-pendek tentang KD tersebut. Selesai menjelaskan, aku dan teman-teman sekelasku mendapat tugas untuk membuat sebuah cerpen dari pengalaman pribadi dengan jumlah kata minimal 1.000 kata.
Sebagai contoh, beliau menceritakan pengalaman pribadinya tentang gempa dan tsunami yang terjadi 7 tahun silam. Kata ”tsunami”, berasal dari bahasa Jepang yang berarti ”Air Bah”. Kata ini populer di dunia karena Jepang sering dilanda Musibah Air Bah.
Saat bercerita, beberapa temanku sempat menitihkan air mata. Memang tak bisa dipungkiri, bencana 7 tahun silam ini sungguh dahsyat. Sangking dahsyatnya, bencana ini pun mendapat julukan ”Bencana Internasional”. Tentunya, aku tidak bangga dengan julukan tersebut. Karena bencana merupakan sesuatu yang tak patut untuk dibanggakan.
Karena ke internasionalannya bencana itu, wajar saja jika ada beberapa temanku yang menitihkan air mata karena mendengar cerita beliau.
Tiba-tiba, bel tanda pelajaran usai pun berbunyi. Tak terasa memang. Padahal aku masih ingin mendengar kisah pilu beliau itu. Beliau pun mengemaskan barang-barangnya dan bersiap meninggalkan kelasku. Akupun kembali menyiapkan anggotaku dan memberi aba-aba salam.
Saat beliau keluar dari kelas, beberapa temanku pun juga ikut keluar kelas dan pulang kerumahnya masing-masing. Namun tidak dengan aku. Maklum saja, ayahku belum menjemputku. Di zaman yang canggih ini, tak model lagi rasanya jika menyuruh ayahku untuk menjemputku menggunakan Burung Merpati.
Tat tit tut, akupun mulai mengetik SMS berisi suruhan kepada ayahku untuk menjemputku. Aku mengetik SMS menggunakan HP yang tak berkamera. Mengapa? Karena sudah peraturan di SMP favorit ini untuk tidak menggunakan HP yang berkamera. Mau tidak mau, aku harus mengikuti peraturan ini jika ingin dikatakan siswa yang disiplin.
Dalam sekejap, SMS terkirim. Kini aku harus menunggu ayahku. Mungkin akan memakan waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena jarak rumahku dengan sekolah yang cukup jauh. Walaupun cukup jauh, namaku belum pernah dan semoga jangan pernah tertulis di Buku Piket Sekolah. Buku ini berisi nama-nama siswa yang datang ke sekolah pada pukul 08.31 WIB atau lebih.
Lama menunggu, aku teringat akan cerita pilu Bu Indrawati tadi. Cerita ini mengingatkanku akan Tragedi Gempa dan Tsunami yang juga aku alami 7 tahun silam. Kembali terbayang detail dalam awang-awangku akan kisah tragis 7 tahun silam itu.
Begini ceritanya. Saat itu, pagi 26 Desember 2004. Aku berharap hari ini dapat menjadi happy Sunday seperti hari Minggu sebelumnya. Rasanya hampir-hampir tidak ada yang berbeda dengan hari-hari Minggu belakang ini.
Dari hunianku yang terletak di desa nan asri ini, terdengar kicauan bermacam-macam burung yang bersumber dari hampir setiap pohon. Hembusan AC (angin cepoi-cepoi) sangat sejuk terasa. Bisa dibilang, kesejukannya meresap sampai ke lubuk hati yang paling dalam. Udara pagi yang dingin terasa sedikit menusuk tulangku.
Aku pun kembali menarik selimutku untuk melanjutkan tidurku.
Belum selesai aku menarik selimutku, tiba tiba terdengar suara ibuku dari lantai dasar.
” Haekal! Cepat bangun dan mandi! Hari ini kita akan pergi ke Pasar Aceh.”
Akupun menurut saja dengan titah beliau.
” Ya Bu.”
Langsung saja aku bangun dan merapikan tempat tidurku. Selesai, aku pun menarik handuk yang berada di jemuran dan langsung mandi.
Selesai mandi dan berpakaian, ibuku kembali bertitah.
”Nak, makan dulu sana. Tuh ada nasi gurih.”
Hmm, kalau pagi begini ada nasi gurih, menolak pun rasanya aku tak tega. Maklum saja, ini merupakan salah satu makanan favoritku yang rasanya tentu nyumy.
”Ya Bu.”
Langsung saja aku mengambil bungkusan nasi itu dan mengambil posisi duduk di depan televisi yang sedang menyala. Kutonton sebuah kartun yang ditayangkan oeh salah satu stasiun televisi lokal Indonesia bernama RCTI.
Hampir selesai makan, aku kemudian mengambil sebuah gelas yang berada tak jauh dari tempatku makan. Saat tanganku hampir menyentuhnya, tiba-tiba gelas itu jatuh dengan sendirinya namun tidak pecah. Kurasakan getaran dan goncangan yang bergetar begitu hebat yang bersumber dari tanah. Entah apa ini namanya, sontak aku sekeluarga berarian ke luar rumah.
Kulihat semua tetangga juga berlarian ke luar rumah. Saat bumi ini masih bergetar dengan hebatnya, terdengar olehku suara ”La Illahaillallah” berkali-kali. Ternyata suara ini berasal dari keluarga dan tetanggaku. Entah apa yang saat ini ada di benakku, sehingga aku langsung saja mengikuti ucapan tersebut berulang-ulang.
”La Illahaillallah. La Illahaillallah. La Illahaillallah”
Kini hanya suara itu yang terdengar. Hampir mengalahkan suara bumi yang sedang bergetar dengan hebatnya.
Tiba-tiba, takku rasakan lagi getaran itu. Tak lagi serasa sedang berada di ayunan yang diayun dengan kencang. Seiring dengan berhentinya getaran itu, kurasakan juga tak ada lagi angin yang berhembus menyejukkan hatiku. Pohon-pohon yang sebelum getaran itu terjadi daunnya melamai-lambai dengan lembut, kini seakan-akan berdiri tegang seperti paku yang tertancap di tanah. Nyanyian burung-burung yang terdengar sebelum getaran terjadi, kini selesai getaran, seakan-akan burung-burung kehabisan suaranya untuk bernyanyi. Bertanyaku dalam hati.
”Ada apa gerangan dengan alam? Kok serasa alam berhenti beraktivitas? ”
Kulihat juga, segerombolan burung-burung terbang dari arah kota dengan tergesa-gesa menuju ke arah gunung. Hal ini membuatku semakin bingung tak menentu.
Kemudian ayahku menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah.
”Nak, ayo kita masuk ke dalam saja.”
Tanpa menjawab, akupun masuk kedalam rumah.
Saat berada di ruang tamu, kulihat beberapa dinding tergores. Mungkin ini adalah oleh-oleh dari getaran dahsyat tadi. Kulihat juga, beberapa lemari bersujud ke lantai.
Tiba-tiba, terdengar pekikan seorang wanita tua dalam bahasa Aceh.
”Ie laot ngop! Ie laot ngop! Ie laot ngop! Selamatkan diri!”
Berulang-ulang wanita itu mengucapkan kalimat tersebut dengan berteriak. Indonesianya adalah bahwa wanita tua itu mengatakan bahwa air bah sedang terjadi. Sontak aku keluar lagi dari rumah.
Kemudian, terdengar lagi suara sirene yang menggetarkan hatiku.
”Ngiung! Ngiung! Ngiung!”
         Sepertinya suara sirene ambulan dari jalan raya. Mengapa bisa terdengar? Karena alam sepertinya masih berhenti beraktivitas. Mungkin alam kecapekkan karena tadi bergetar dengan dahsyatnya.
Aku kembali bertanya dalam hati.
“Inikah yang namanya kiamat?”
Kulihat berbondong-bondong truk yang mengangkut pengungsi melewati jalan di depan rumahku. Dapat dibilang, daerah tempatku tinggal merupakan daerah yang tinggi. Sehingga orang-orang mengungsi ke sini. Karena dapat dibilang tinggi, kami sekeluarga memilih untuk tidak mengungsi ke tempat lain.
Lama kemudian, masih ku rasakan getaran-getaran. Namun kini intensitasnya lebih kecil. Masih juga kulihat para pengungsi terus berlalu-lalang.
Menjelang sore hari, kudapat kabar bahwa air bah telah surut. Kini situasinya semakin normal. Tak bisa kubayangkan jika kami tadi telah berada di Pasar Aceh apa yang akan terjadi. Karena Pasar Aceh merupakan salah satu tempat terparah terkena air bah. Akupun bersyukur atas penyelamatan-Nya.
”Drt...drt...drt...”
Suara HPku berderit. Membangunkanku dari lamuan tentang kisah tragis 7 tahun silam. Kulihat HPku, ternyata ada SMS. Ternyata SMS tersebut dari ayahku. Isinya mengatakan bahwa beliau sudah berada di depan SMPku.
Akupun meninggalkan kelas dan menemui ayahku. Lalu aku dan ayahku pergi meninggalkan SMP dan menuju ke rumah.

* cerpen ini menjadi juara 2 nasional versi keranjangbesar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar